Tangerang — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi memberlakukan Peraturan Menteri No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Aturan ini menggantikan Permendikbud No. 3 Tahun 2020 dan sejumlah regulasi sebelumnya, dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan tinggi melalui pendekatan yang lebih fleksibel dan berkelanjutan. Salah satu aspek kunci yang diubah adalah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Lantas, apa perbedaan mendasar antara SPMI dalam Permendikbudristek No. 53 dengan standar sebelumnya?
1. Struktur Standar yang Lebih Sederhana dan Terintegrasi
Permendikbudristek No. 53 menyederhanakan struktur standar penjaminan mutu. Sebelumnya, Permendikbud No. 3 Tahun 2020 mengatur 24 standar yang terbagi dalam tiga pilar Tridharma (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat), masing-masing dengan delapan standar. Kini, standar tersebut dipadatkan menjadi tiga aspek utama: standar luaran (kompetensi lulusan), standar proses (pembelajaran, penilaian, pengelolaan), dan standar masukan (sarana, dosen, kurikulum). Penyederhanaan ini memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk merancang sistem mutu yang lebih adaptif tanpa kehilangan esensi kualitas.
2. Fleksibilitas dalam Kurikulum dan Pembelajaran
Peraturan baru ini menekankan fleksibilitas dalam penyusunan kompetensi lulusan. Jika sebelumnya kompetensi utama merujuk pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), kini perguruan tinggi dapat melibatkan asosiasi program studi atau industri untuk merumuskan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar. Selain itu, bentuk tugas akhir mahasiswa—seperti skripsi, proyek, atau prototipe—disesuaikan dengan bidang studi, berbeda dengan aturan lama yang lebih kaku dalam metodologi penelitian.
3. Penyesuaian Beban Studi dan Metode Penilaian
Permendikbudristek No. 53 mengubah definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Satu SKS kini setara dengan 45 jam per semester, mencakup beragam aktivitas seperti magang, wirausaha, atau pengabdian masyarakat. Sebelumnya, SKS hanya dihitung berdasarkan jam tatap muka dan mandiri. Perubahan ini mendorong pembelajaran berbasis pengalaman langsung. Di sisi penilaian, aturan baru menghapus predikat kelulusan seperti memuaskan atau pujian untuk program sarjana, yang sebelumnya diatur berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).
4. Penyelarasan dengan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME)
SPMI dalam Permendikbudristek No. 53 dirancang untuk selaras dengan SPME, terutama dalam proses akreditasi. Perguruan tinggi kini diberi kebebasan mengembangkan SPMI secara otonom, tetapi tetap harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti) sebagai acuan evaluasi eksternal oleh BAN-PT atau Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Jika sebelumnya akreditasi bersifat strict, aturan baru memungkinkan perguruan tinggi dengan akreditasi internasional diakui tanpa melalui proses ulang oleh LAM, selama memenuhi kriteria.
5. Fokus pada Outcome-Based Education (OBE)
Perubahan paling progresif terlihat pada pendekatan kurikulum berbasis hasil (OBE). Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) tidak hanya merujuk pada pengetahuan, tetapi juga integrasi sikap, keterampilan, dan relevansi dengan kebutuhan industri. Hal ini berbeda dengan Permendikbud No. 3 Tahun 2020 yang lebih menekankan kesetaraan kualifikasi KKNI. Dengan OBE, perguruan tinggi dituntut untuk secara aktif melibatkan pemangku kepentingan dalam merancang kurikulum.
Implikasi bagi Perguruan Tinggi
Perubahan ini mendorong perguruan tinggi untuk lebih inovatif dalam menjalankan SPMI. Misalnya, Universitas Widyatama telah menggelar workshop harmonisasi standar SPMI sesuai Permendikbudristek No. 53, melibatkan tim penjaminan mutu dan pimpinan yayasan 7. Sementara itu, Universitas Ma Chung menyoroti pentingnya akreditasi internasional sebagai tolok ukur mutu global.
Kesimpulan
Permendikbudristek No. 53 menjadi angin segar bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Dengan struktur yang lebih sederhana, fleksibilitas kurikulum, dan pendekatan OBE, aturan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing lulusan di kancah global. Namun, tantangan terbesar tetap pada konsistensi implementasi dan komitmen perguruan tinggi untuk terus berbenah. Seperti dikatakan Prof. Daniel Ginting dari Universitas Ma Chung, “Semangat peningkatan mutu harus dimulai dari dalam, sebelum dievaluasi dari luar”.
Sumber: Laman Kemendikbudristek, Workshop Universitas Widyatama, dan Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi.